Sejarah agama Buddha
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sejarah agama Buddha mulai dari
abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya sang Buddha
Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Selama masa ini, agama ini sementara berkembang, unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan
Helenistik (
Yunani),
Asia Tengah,
Asia Timur dan
Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya ini, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia. Sejarah agama Buddha juga ditandai dengan perkembangan banyak aliran dan mazhab, serta perpecahan-perpecahan. Yang utama di antaranya adalah aliran tradisi
Theravada ,
Mahayana, dan
Vajrayana (Bajrayana), yang sejarahnya ditandai dengan masa pasang dan surut.
Kehidupan Buddha
Artikel utama: Gautama Buddha
Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha
Siddharta Gautama dilahirkan dari suku
Sakya pada awal masa
Magadha (
546–
324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan
Himalaya yang bernama
Lumbini. Sekarang kota ini terletak di
Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama
Sakyamuni (
harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").
Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan
Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang per
tapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (
majhima patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.
Di bawah sebuah
pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan
Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai
Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata
Sansekerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata
budh+
ta).
Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri
dataran Gangga di tengah
India (daerah mengalirnya
sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.
Keengganan Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab
Buddha Nikaya, yang sekarang hanya masih tersisa
Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab
Mahayana, sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.
Tahap awal agama Buddha
Sebelum disebarkan di bawah perlindungan
maharaja Asoka pada
abad ke-3 SM, agama Buddha kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan dikatakan pernah terjadi, meski pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut pasamuhan agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan beberapa perpecahan dalam gerakan Buddha.
Konsili Buddha Pertama (abad ke-5 SM)
Konsili pertama Buddha diadakan tidak lama setelah Buddha wafat di bawah perlindungan raja
Ajatasattu dari
Kekaisaran Magadha, dan dikepalai oleh seorang rahib bernama
Mahakassapa, di Rajagaha(sekarang disebut
Rajgir). Tujuan konsili ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan Buddha (
sutta (Buddha)) dan mengkodifikasikan hukum-hukum
monastik (
vinaya):
Ananda, salah seorang murid utama Buddha dan saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan ajaran-ajaran Buddha, dan Upali, seorang murid lainnya, meresitasikan hukum-hukum
vinaya. Ini kemudian menjadi dasar
kanon Pali, yang telah menjadi teks rujukan dasar pada seluruh masa sejarah agama Buddha.
Konsili Kedua Buddha (383 SM)
Konsili kedua Buddha diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik antara mazhab tradisionalis dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum
Mahasanghika.
Mazhab-mazhab tradisional menganggap Buddha adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan ajaran Buddha demi mengatasi
samsara dan mencapai
arhat. Namun kaum Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistis dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti membuka jalan paham
Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan monastik yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum rohaniwan dan kaum awam (itulah makanya nama mereka berarti kumpulan "besar" atau "mayoritas").
Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran kaum Mahasanghika. Mereka meninggalkan sidang dan bertahan selama beberapa abad di Indian barat laut dan
Asia Tengah menurut prasasti-
prasasti Kharoshti yang ditemukan dekat
Oxus dan bertarikh
abad pertama.
Lihat pula: mazhab awal Buddha
Dakwah Asoka (+/- 260 SM)
Maharaja
Asoka dari
Kekaisaran Maurya (
273–
232 SM) masuk agama Buddha setelah menaklukkan wilayah Kalingga (sekarang
Orissa) di India timur secara berdarah. Karena menyesali perbuatannya yang keji, sang maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan menyebarkan ajaran Buddha dengan membangun stupa-
stupa dan pilar-pilar di mana ia menghimbau untuk menghormati segala makhluk hidup dan mengajak orang-orang untuk mentaati
Dharma. Asoka juga membangun jalan-jalan dan
rumah sakit-rumah sakit di seluruh negeri.
Periode ini menandai penyebaran agama Buddha di luar India. Menurut prasasti dan pilar yang ditinggalkan Asoka (
piagam-piagam Asoka), utusan dikirimkan ke pelbagai negara untuk menyebarkan agama Buddha, sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama di
kerajaan Baktria-Yunani yang merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan besar mereka juga sampai di daerah
Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.
Konsili Buddha Ketiga (+/- 250 SM)
Maharaja
Asoka memprakarsai Konsili Buddha ketiga sekitar tahun
250 SM di
Pataliputra (sekarang
Patna). Konsili ini dipimpin oleh rahib Moggaliputta. Tujuan konsili adalah rekonsiliasi mazhab-mazhab Buddha yang berbeda-beda, memurnikan gerakan Buddha, terutama dari faksi-faksi oportunistik yang tertarik dengan perlindungan kerajaan dan organisasi pengiriman misionaris-misionaris Buddha ke dunia yang dikenal.
Kanon Pali (
Tipitaka, atau
Tripitaka dalam
bahasa Sansekerta, dan secara
harafiah berarti "Tiga Keranjang"), yang memuat teks-teks rujukan tradisional Buddha dan dianggap diturunkan langsung dari sang Buddha, diresmikan penggunaannya saat itu. Tipitaka terdiri dari doktrin (Sutra Pitaka), peraturan monastik (
Vinaya Pitaka) dan ditambah dengan kumpulan filsafat (
Abhidharma Pitaka).
Usaha-usaha Asoka untuk memurnikan agama Buddha juga mengakibatkan pengucilan gerakan-gerakan lain yang muncul. Terutama, setelah tahun
250 SM, kaum
Sarvastidin (yang telah ditolak konsili ketiga, menurut tradisi
Theravada) dan kaum
Dharmaguptaka menjadi berpengaruh di India barat laut dan Asia Tengah, sampai masa
Kekaisaran Kushan pada abad-abad pertama Masehi. Para pengikut Dharmaguptaka memiliki ciri khas kepercayaan mereka bahwa sang Buddha berada di atas dan terpisah dari anggota komunitas Buddha lainnya. Sedangkan kaum Sarvastivadin percaya bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan terjadi pada saat yang sama.
Dunia Helenistik
Beberapa prasati
Piagam Asoka menulis tentang usaha-usaha yang telah dilaksanakan oleh Asoka untuk mempromosikan agama Buddha di dunia Helenistik (Yunani), yang kala itu berkesinambungan tanpa putus dari India sampai Yunani. Piagam-piagam Asoka menunjukkan pengertian yang mendalam mengenai sistem politik di wilayah-wilayah Helenistik: tempat dan lokasi raja-raja Yunani penting disebutkan, dan mereka disebut sebagai penerima
dakwah agama Buddha:
Antiokhus II Theos dari
Kerajaan Seleukus (261–246 SM),
Ptolemeus II Filadelfos dari
Mesir (285–247 SM),
Antigonus Gonatas dari Makedonia (276–239 SM),
Magas dari Kirene (288–258 SM), dan
Alexander dari Epirus (272–255 SM).
- "Penaklukan Dharma telah dilaksanakan dengan berhasil, pada perbatasan dan bahkan enam ratus yojana (6.400 kilometer) jauhnya, di mana sang raja Yunani Antiochos memerintah, di sana di mana empat raja bernama Ptolemeus, Antigonos, Magas dan Alexander bertakhta, dan juga di sebelah selatan di antara kaum Chola, Pandya, dan sejauh Tamraparni." (Piagam Asoka, Piagam Batu ke-13, S. Dhammika)
Kemudian, menurut beberapa sumber dalam
bahasa Pali, beberapa utusan Asoka adalah bhiksu-bhiksu Yunani, yang menunjukkan eratnya pertukaran agama antara kedua budaya ini:
- "Ketika sang thera (sesepuh) Moggaliputta, sang pencerah agama sang Penakluk (Asoka) telah menyelesaikan Konsili (ke-3) […], beliau mengirimkan thera-thera, yang satu kemari yang lain ke sana: […] dan ke Aparantaka (negeri-negeri barat yang biasanya merujuk Gujarat dan Sindhu), beliau mengirimkan seorang Yunani (Yona) bernama Dhammarakkhita". (Mahavamsa XII).
Tidaklah jelas seberapa jauh interaksi ini berpengaruh, tetapi beberapa pakar mengatakan bahwa sampai tingkat tertentu ada
sinkretisme antara falsafah Yunani dan ajaran Buddha di tanah-tanah Helenik kala itu. Mereka terutama menunjukkan keberadaan komunitas Buddha di Dunia Helenistik kala itu, terutama di
Alexandria (disebut oleh
Clemens dari Alexandria), dan keberadaan sebuah ordo-
monastik pra-Kristen bernama
Therapeutae (kemungkinan diambil dari kata Pali "
Theraputta"), yang kemungkinan "mengambil ilham dari ajaran-ajaran dan penerapan ilmu tapa-samadi Buddha" (Robert Lissen).
Mulai dari tahun
100 SM, simbol "bintang di tengah mahkota", juga secara alternatif disebut "cakra berruji delapan" dan kemungkinan dipengaruhi desain
Dharmacakra Buddha, mulai muncul di koin-koin raja Yahudi, Raja
Alexander Yaneus (
103-
76 SM). Alexander Yaneus dihubungkan dengan sekte falsafi Yunani, kaum
Saduki dan dengan ordo monastik
Essenes, yang merupakan cikal-bakal agama Kristen. Penggambaran cakra atau roda berruji delapan ini dilanjutkan oleh jandanya, Ratu Alexandra, sampai
orang Romawi menginvasi
Yudea pada
63 SM.
Batu-batu nisan Buddha dari
era Ptolemeus juga ditemukan di kota Alexandria, dengan hiasan Dharmacakra (Tarn, "The Greeks in Bactria and India"). Dalam mengkomentari keberadaan orang-orang Buddha di Alexandria, beberapa pakar menyatakan bahwa “Kelak pada tempat ini juga beberapa pusat agama Kristen yang paling aktif didirikan” (Robert Linssen "Zen living").
Ekspansi ke Asia
Di daerah-daerah sebelah timur anak benua Hindia (sekarang
Myanmar), Budaya India banyak memengaruhi sukubangsa
Mon. Dikatakan suku Mon mulai masuk agama Buddha sekitar tahun
200 SM berkat dakwah maharaja
Asoka dari India, sebelum perpecahan antara aliran
Mahayana dan
Hinayana. Candi-candi Buddha Mon awal, seperti Peikthano di Myanmar tengah, ditarikh berasal dari
abad pertama sampai
abad ke-5 Masehi.
Seni Buddha suku Mon terutama dipengaruhi seni India kaum
Gupta dan periode pasca Gupta. Gaya
manneris mereka menyebar di
Asia Tenggara mengikuti ekspansi kerajaan Mon antara
abad ke-5 dan
abad ke-8. Aliran Theravada meluas di bagian utara Asia Tenggara di bawah pengaruh Mon, sampai diganti secara bertahap dengan aliran Mahayana sejak
abad ke-6.
Agama Buddha konon dibawa ke
Sri Lanka oleh putra Asoka
Mahinda dan enam kawannya semasa
abad ke-2 SM. Mereka berhasil menarik Raja Devanampiva Tissa dan banyak anggota bangsawan masuk agama Buddha. Inilah waktunya kapan wihara
Mahavihara, pusat aliran Ortodoks Singhala, dibangunt.
Kanon Pali dimulai ditulis di Sri Lanka semasa kekuasaan Raja Vittagamani (memerintah
29–
17 SM), dan tradisi Theravada berkembang di sana. Beberapa komentator agama Buddha juga bermukim di sana seperti
Buddhaghosa (abad ke-4 sampai ke-5). Meski aliran
Mahayana kemudian mendapatkan pengaruh kala itu, akhirnya aliran Theravada yang berjaya dan Sri Lanka akhirnya menjadi benteng terakhir aliran Theravada, dari mana aliran ini akan disebarkan lagi ke
Asia Tenggara mulai
abad ke-11.
Ada pula sebuah legenda, yang tidak didukung langsung oleh bukti-bukti piagam, bahwa Asoka pernah mengirim seorang misionaris ke utara, melalui pegunungan
Himalaya, menuju ke
Khotan di
dataran rendah Tarim, kala itu tanah sebuah bangsa
Indo-Eropa,
bangsa Tokharia.
Lihat pula: Piagam-piagam Asoka
Penindasan oleh dinasti Sungga (abad ke-2 sampai abad ke-1 SM)
Dinasti Sungga (
185–
73 SM) didirikan pada tahun
185 SM, kurang lebih 50 tahun setelah mangkatnya maharaja
Asoka. Setelah membunuh Raja
Brhadrata (raja terakhir
dinasti Maurya), hulubalang tentara
Pusyamitra Sunga naik takhta. Ia adalah seorang
Brahmana ortodoks, dan Sunga dikenal karena kebencian dan penindasannya terhadap kaum-kaum Buddha. Dicatat ia telah "merusak wihara dan membunuh para bhiksu" (Divyavadana, pp. 429–434): 84.000
stupa Buddha yang telah dibangun Asoka dirusak (R. Thaper), dan 100 keping koin emas ditawarkan untuk setiap kepala bhiksu Buddha (Indian Historical Quarterly Vol. XXII, halaman 81 dst. dikutip di Hars.407). Sejumlah besar
wihara Buddha diubah menjadi kuil
Hindu, seperti di
Nalanda,
Bodhgaya,
Sarnath, dan
Mathura.
Lihat pula: Kekaisaran Sungga
[sunting] Interaksi Buddha-Yunani (abad ke-2 sampai abad pertama Masehi)
Di wilayah-wilayah barat
Anak benua India, kerajaan-kerajaan Yunani yang bertetangga sudah ada di
Baktria (sekarang di Afghanistan utara) semenjak penaklukan oleh
Alexander yang Agung pada sekitar
326 SM: pertama-tama kaum
Seleukus dari kurang lebih tahun
323 SM, lalu
Kerajaan Baktria-Yunani dari kurang lebih tahun
250 SM.
Raja
Baktria-Yunani Demetrius I dari Baktria, menginvasi India pada tahun
180 SM dan sampai sejauh
Pataliputra. Kemudian sebuah
Kerajaan Yunani-India didirikan yang akan lestari di India bagian utara sampai akhir
abad pertama SM.
Agama Buddha berkembang di bawah naungan raja-raja Yunani-India, dan pernah diutarakan bahwa maksud mereka menginvasi India adalah untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap
Kekaisaran Maurya dan melindungi para penganut Buddha dari penindasan kaum Sungga (
185–
73 SM).
Salah seorang raja Yunani-India yang termasyhur adalah Raja
Menander I (yang berkuasa dari +/-
160–
135 SM). Kelihatannya beliau masuk agama Buddha dan digambarkan dalam tradisi
Mahayana sebagai salah satu sponsor agama ini, sama dengan maharaja
Asoka atau seorang raja Kushan dari masa yang akan datang, raja
Kaniska. Koin-koin Menander memuat tulisan "Raja Penyelamat" dalam
bahasa Yunani, dan "Maharaja Dharma" dalam
aksara Kharosti. Pertukaran budaya secara langsung ditunjukkan dalam dialog
Milinda Panha antara raja Yunani
Menander I dan sang bhiksu
Nagasena pada sekitar tahun
160 SM. Setelah mangkatnya, maka demi menghormatinya, abu pembakarannya diklaim oleh kota-kota yang dikuasainya dan ditaruh di
stupa-stupa tempat pemujaannya, mirip dengan sang Buddha Gautama (
Plutarkhus, Praec. reip. ger. 28, 6).
Interaksi antara budaya Yunani dan Buddha kemungkinan memiliki pengaruh dalam perkembangan aliran
Mahayana, sementara kepercayaan ini mengembangkan pendekatan falsafinya yang canggih dan perlakuan Buddha yang mirip dengan Dewa-Dewa Yunani. Kira-kira juga kala seperti ini pelukisan Buddha secara
antropomorfis dilakukan, seringkali dalam bentuk gaya
seni Buddha-Yunani: "One might regard the classical influence as including the general idea of representing a man-god in this purely human form, which was of course well familiar in the West, and it is very likely that the example of westerner's treatment of their gods was indeed an important factor in the innovation" (Boardman, "The Diffusion of Classical Art in Antiquity").
Lihat pula: Agama Buddha-Yunani
Berkembangnya aliran Mahayana (Abad Pertama SM-Abad ke-2)
Berkembangnya agama Buddha Mahayana dari
abad ke-1 SM diiringi dengan perubahan kompleks politik di India barat laut. Kerajaan-kerajaan Yunani-India ini secara bertahap dikalahkan dan diasimilasi oleh kaum nomad
Indo-Eropa yang berasal dari
Asia Tengah, yaitu kaum Schytia India, dan lalu kaum
Yuezhi, yang mendirikan
Kekaisaran Kushan dari kira-kira tahun
12 SM.
Kaum Kushan menunjang agama Buddha dan konsili keempat Buddha kemudian dibuka oleh maharaja
Kanishka, pada kira-kira tahun
100 Masehi di Jalandhar atau di
Kashmir. Peristiwa ini seringkali diasosiasikan dengan munculnya aliran
Mahayana secara resmi dan pecahnya aliran ini dengan aliran
Theravada. Mazhab Theravada tidak mengakui keabsahan konsili ini dan seringkali menyebutnya "konsili rahib bidaah".
Konon Kanishka mengumpulkan 500
bhiksu di Kashmir, yang dikepalai oleh Vasumitra, untuk menyunting
Tripitaka dan memberikan komentar. Maka konon pada konsili ini telah dihasilkan 300.000 bait dan lebih dari 9 juta dalil-dalil. Karya ini memerlukan waktu 12 tahun untuk diselesaikan.
Konsili ini tidak berdasarkan kanon
Pali yang asli (
Tipitaka). Sebaliknya, sekelompok teks-teks suci diabsahkan dan juga prinsip-prinsip dasar doktrin Mahayana disusun. Teks-teks suci yang baru ini, biasanya dalam bahasa
Gandhari dan
aksara Kharosthi kemudian ditulis ulang dalam
bahasa Sansekerta yang sudah menjadi bahasa klasik. Bagi banyak pakar hal ini merupakan titik balik penting dalam penyebaran pemikiran Buddha.
Wujud baru Buddhisme ini ditandai dengan pelakuan Buddha yang mirip dilakukan bagaikan Dewa atau bahkan Tuhan. Gagasan yang berada di belakangnya ialah bahwa semua makhluk hidup memiliki alam dasar Buddha dan seyogyanya bercita-cita meraih "Kebuddhaan". Ada pula sinkretisme keagamaan terjadi karena pengaruh banyak kebudayaan yang berada di India bagian barat laut dan Kekaisaran Kushan.
Penyebaran Mahayana (Abad pertama sampai abad ke-10 Masehi)
Penyebaran aliran
Mahayana antara abad pertama - abad ke-10 Masehi.
Dari saat itu dan dalam kurun waktu beberapa abad, Mahayana berkembang dan menyebar ke arah timur. Dari India ke
Asia Tenggara, lalu juga ke utara ke
Asia Tengah,
Tiongkok,
Korea, dan akhirnya
Jepang pada tahun
538.
Kelahiran kembali Theravada (abad ke-11 sampai sekarang)
Mulai
abad ke-11, hancurnya agama Buddha di anak benua India oleh serbuan Islam menyebabkan kemunduran aliran Mahayana di Asia Tenggara. Rute daratan lewat anak benua India menjadi bahaya, maka arah perjalanan laut langsung di antara
Timur Tengah lewat
Sri Lanka dan ke
Cina terjadi, menyebabkan dipeluknya aliran
Theravada Pali kanon, lalu diperkenalkan ke daerah sekitarnya sekitar
abad ke-11 dari
Sri Lanka.
Raja
Anawrahta (
1044–
1077), pendiri sejarah kekaisaran
Birma, mempersatukan negara dan memeluk aliran Theravada. Ini memulai membangun ribuan candi Budha
Pagan, ibu kota, di antara abad ke-11 dan
abad ke-13. Sekitar 2.000 di antaranya masih berdiri. Kekuasaan orang Birma surut dengan kenaikan orang Thai, dan dengan ditaklukannya ibu kota Pagan oleh
orang Mongolia pada
1287, tetapi aliran Buddha Theravada masih merupakan kepercayaan utama rakyat Myanmar sampai hari ini.
Kepercayaan Theravada juga dipeluk oleh kerajaan etnik
Thai Sukhothai sekitar
1260. Theravada lebih jauh menjadi kuat selama masa
Ayutthaya (
abad ke-14 sampai
abad ke-18), menjadi bagian integral masyarakat Thai. Di daratan Asia Tenggara, Theravada terus menyebar ke
Laos dan
Kamboja pada
abad ke-13.
Tetapi, mulai
abad ke-14, di daerah-daerah ujung pesisir dan kepulauan Asia Tenggara, pengaruh
Islam ternyata lebih kuat, mengembang ke dalam
Malaysia,
Indonesia, dan kebanyakan pulau hingga ke selatan
Filipina.
Agama Buddha
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Agama Buddha lahir di negara
India, lebih tepatnya lagi di wilayah
Nepal sekarang, sebagai reaksi terhadap
agama Brahmanisme. Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya Buddha Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Agama
Buddha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dsb. Pencetusnya ialah
Siddhartha Gautama yang dikenal sebagai
Gautama Buddha oleh pengikut-pengikutnya. Ajaran Buddha sampai ke negara
Tiongkok pada tahun
399 Masehi, dibawa oleh seorang
bhiksu bernama
Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari
Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.
Setiap aliran Buddha berpegang kepada
Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu
Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha),
Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan
Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).
Konsep Ketuhanan
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan
Tuhan. Konsep
ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam
agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke
surga ciptaan Tuhan yang kekal.
“ | Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. | ” |
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam
bahasa Pali adalah
Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang
alam semesta,
terbentuknya Bumi dan
manusia, kehidupan manusia di alam semesta,
kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (
anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati
dimana satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses
tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
Moral Buddha
Sebagai mana agama
Islam dan
Kristen ajaran Buddha juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemoralan. Nilai-nilai kemoralan yang diharuskan untuk umat awam umat Buddha biasanya dikenal dengan
Pancasila. Kelima nilai-nilai kemoralan untuk umat awam adalah:
- Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami
- Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami
- Kamesu Micchacara Veramani Sikhapadam
- Musavada Veramani Sikkhapadam Samadiyami
- Surameraya Majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami
yang artinya:
- aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
- aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang tidak diberikan.
- aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila
- aku bertekad akan melatih diri menghidari melakukan perkataan dusta
- aku bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran
Selain nilai-nilai moral di atas, agama Buddha juga amat menjunjung tinggi karma sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip sebab akibat. Kamma (bahasa Pali) atau Karma (bahasa Sanskerta) berarti perbuatan atau aksi. Jadi ada aksi atau karma baik dan ada pula aksi atau karma buruk. Saat ini, istilah karma sudah terasa umum digunakan, namun cenderung diartikan secara keliru sebagai hukuman turunan/hukuman berat dan lain sebagainya. Guru Buddha dalam Nibbedhika Sutta; Anguttara Nikaya 6.63 menjelaskan secara jelas arti dari kamma:
”Para bhikkhu, cetana (kehendak)lah yang kunyatakan sebagai kamma. Setelah berkehendak, orang melakukan suatu tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran.”
Jadi, kamma berarti semua jenis kehendak (cetana), perbuatan yang baik maupun buruk/jahat, yang dilakukan oleh jasmani (kaya), perkataan (vaci) dan pikiran (mano), yang baik (kusala) maupun yang jahat (akusala).
Kamma atau sering disebut sebagai Hukum Kamma merupakan salah satu hukum alam yang berkerja berdasarkan prinsip sebab akibat. Selama suatu makhluk berkehendak, melakukan kamma (perbuatan) sebagai sebab maka akan menimbulkan akibat atau hasil. Akibat atau hasil yang ditimbulkan dari kamma disebut sebagai Kamma Vipaka.
Aliran Buddha
Ada beberapa aliran dalam agama Buddha:
- Buddha Theravada
- Buddha Mahayana: Zen
- Buddha Vajrayana
[sunting] Buddha Mahayana
Patung Buddha Tian Tan. Vihara Po Lin, pulau Lantau, Hong Kong
Sutra Teratai merupakan rujukan sampingan penganut Buddha aliran
Mahayana. Tokoh
Kwan Im yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "
Avalokiteśvara" merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah
menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok sebagai seorang
dewi.
Penyembahan kepada
Amitabha Buddha (Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Buddha
Mahayana. Sorga Barat merupakan tempat tujuan umat Buddha aliran Sukhavati selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Buddha Amitabha
dimana mereka tidak perlu lagi mengalami proses reinkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.
Mereka mempercayai mereka akan lahir semula di Sorga Barat untuk menunggu saat Buddha Amitabha memberikan khotbah
Dhamma dan Buddha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan
dimana kejahilan, kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Buddha yang paling disukai oleh orang
Tionghoa.
Seorang Buddha bukannya dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Buddha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.
Menurut
Buddha Gautama , kenikmatan Kesadaran
Nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha
Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan juga
bodhisattva (makhluk yang tekad "committed" pada Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain pada jalan itu). Dalam
Tipitaka suci - intipati teks suci Buddha - tidak terbilang Buddha yang lalu dan hidup mereka telah disebut "spoken of", termasuk Buddha yang akan datang,
Buddha Maitreya .
Buddha Theravada
Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Buddha tertua yang tinggal sampai saat ini, dan untuk berapa abad mendominasi
Sri Langka dan wilayah
Asia Tenggara (sebagian dari
Tiongkok bagian barat daya,
Kamboja,
Laos,
Myanmar,
Malaysia,
Indonesia dan
Thailand) dan juga sebagian
Vietnam. Selain itu populer pula di
Singapura dan
Australia.
Theravada berasal dari
bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. Thera berarti
sesepuh khususnya sesepuh terdahulu , dan vada berarti perkataan atau
ajaran. Jadi Theravada berarti Ajaran Para Sesepuh.
Istilah Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha dalam
Dipavamsa, catatan awal sejarah
Sri Lanka pada abad ke-4 Masehi. Istilah ini juga tercatat dalam
Mahavamsa, sebuah catatan sejarah penting yang berasal dari abad ke-5 Di yakini Theravada merupakan wujud lain dari salah satu aliran agama Buddha terdahulu yaitu
Sthaviravada (
Bahasa Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh) , sebuah aliran agama Buddha awal yang terbentuk pada
Sidang Agung Sangha ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran
Vibhajjavada yang berarti
Ajaran Analisis (Doctrine of Analysis) atau
Agama Akal Budi (Religion of Reason).
Sejarah
Sejarah Theravada tidak lepas dari sejarah Buddha Gotama sebagai pendiri agama Buddha. Setelah Sang Buddha
parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (
Sangha Samaya).
Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan Dipimpin oleh
Y.A. Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang
Bhikkhu yang semuanya
Arahat. Sidang diadakan di
Goa Satapani di kota
Rajagaha. Sponsor sidang agung ini adalah
Raja Ajatasatu. Tujuan Sidang adalah menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Mengulang
Dhamma dan
Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya.
Y.A. Upali mengulang Vinaya dan
Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Sidang Agung Sangha ke-2, pada tahun 443 SM ,
dimana awal Buddhisme mulai terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan beberapa peraturan minor dalam Vinaya, di sisi lain kelompok yang mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal dengan Mahasanghika yang merupakan cikal bakal Mahayana. Sedangkan yang mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravada.
Sidang Agung Sangha ke-3 (313 SM), Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok
Sthaviravada. Sidang ini memutuskan untuk tidak mengubah Vinaya, dan
Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyelesaikan buku Kathavatthu yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula
Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian
Y.M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa
Tipitaka ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Buddha Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravada.
Kitab Suci yang dipergunakan dalam agama
Buddha Theravada adalah Kitab Suci
Tripitaka yang dikenal sebagai
Kanon Pali (Pali Canon). Kitab suci Agama Buddha yang paling tua, yang diketahui hingga sekarang, tertulis dalam Bahasa Pali, yang terbagi dalam tiga kelompok besar (yang disebut sebagai "pitaka" atau "keranjang") yaitu:
Vinaya Pitaka,
Sutranta Pitaka, dan
Abhidhamma Pitaka. Karena terdiri dari tiga kelompok tersebut, maka Kitab Suci Agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pali).
Ajaran
Ajaran dasar dikenal sebagai
Empat Kebenaran Mulia, meliputi:
- Dukkha Ariya Sacca (Kebenaran Arya tentang Dukkha),
Dukha ialah penderitaan. Dukha menjelaskan bahwa ada lima pelekatan kepada dunia yang merupakan penderitaan. Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati, disatukan dengan yang tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang diinginkan.
- Dukkha Samudaya Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha),
Samudaya ialah sebab. Setiap penderitaan pasti memiliki sebab, contohnya: yang menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah adanya keinginan kepada hidup.
- Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha),
Nirodha ialah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dapat dilakukan dengan menghapus keinginan secara sempurna sehingga tidak ada lagi tempat untuk keinginan tersebut.
- Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha).
Marga ialah jalan kelepasan. Jalan kelepasan merupakan cara-cara yang harus ditempuh kalau kita ingin lepas dari kesengsaraan. Delapan jalan kebenaran akan dibahas lebih mendalam pada pokok pembahasan yang selanjutnya.
Inti ajaran Buddha menjelaskan bahwa hidup adalah untuk menderita. Jika di dunia ini tidak ada penderitaan, maka Buddha pun tidak akan menjelma di dunia. Semua hal yang terjadi pada manusia merupakan wujud dari penderitaan itu sendiri. Saat hidup, sakit, dipisahkan dari yang dikasihi dan lain-lain, merupakan wujud penderitaan seperti yang sudah dijelaskan diatas. Bahkan kesenangan yang dialami manusia, dianggap sebagai sumber penderitaan karena tidak ada kesenangan yang kekal di dunia ini. Kesenangan atau kegirangan bergantung kepada ikatannya dengan sumber kesenangannya itu, padahal sumber kesenangan tadi berada di luar diri manusia. Sumber itu tidak mungkin dipengang atau diraba oleh manusia, karena tidak ada sesuatu yang tetap berada. Semua penderitaan disebabkan karena kehausan. Untuk menerangkan hal ini diajarkanlah yang disebut pratitya samutpada, artinya pokok permulaan yang bergantungan. Setiap kejadian pasti memiliki keterkaitan dengan pokok permulaan yang sebelumnya. Ada 12 pokok permulaan yang menjadi fokus pratitya samutpada.
Ajaran tentang Delapan Jalan Kelepasan
Agar terlepas dari penderitaan mereka mereka harus melalui 8 jalan kebenaran yang dibagi menjadi 3 tahap bagian, yaitu:
Sradha / iman
1.Percaya yang benar (Samma ditthi). Sraddha atau iman yang terdiri dari “percaya yang benar” ini memberikan pendahuluan yang terdiri dari: Percaya dan menyerahkan diri kepada Buddha sebagai guru yang berwenang mengajarkan kebenaran, percaya menyerahkan diri kepada dharma atau ajaran buddha, sebagai yang membawanya kepada kelepasan, dan percaya setelah menyerahkan diri kepada jemaat sebagai jalan yang dilaluinya. Sila yaitu usaha untuk mencapai moral yang tinggi
2.Maksud yang benar (Samma sankappa), merupakan hasil “percaya yang benar” yakin bahwa jalan petunjuka budha adalah jalan yang benar
3.Kata-kata yang benar (Samma vaca), maksudnya orang harus menjauhkan diri dari kebohongan dan membicarakan kejahatan orang lain, mengucapkan kata-kata yang kasar, serta melakukan percakapan yang tidak senonoh.
4.Perbuatan yang benar (Samma kammanta), maksudnya bahwa dalam segala perbuatan orang tak boleh mencari keuntungan sendiri.
5.Hidup yang benar (Sama ajiva), maksudnya secara lahir dan batin orang harus murni atu bebas dari penipuan diri
6.Usaha yang benar (Samma vayama), maksudnya seperti pengawasan hawa nafsu agar jangan sampai terjadi tabiat-tabiat yang jahat.
7.Ingatan yang benar (Samma sati), maksudnya pengawasan akal, rencana atau emosi yang merusak kesehatan moral Semadi
8.Semadi yang benar (Samma samadhi) Semadi itu sendiri terbagi menjadi 2 bagian yaitu persiapan atau upcara semadi dan semadinya sendiri. Persiapan atau upacara semadi ini maksudnya kita harus merenungi kehidupan dalam agamannya seperti 7 jalan kebenaran yang dibahas tadi dengan 4 bhawana,yaitu: metta (persahabatan yang universal), karuna (belas kasih yang universal), mudita (kesenangan dalam keuntungan dan akan segala sesuatu), dan upakkha (tidak tergerak oleh apa saja yang menguntungkan diri sendiri, teman, musuh dan sebagainya. Sesudah merenungkan hal-hal tersebut barulah masuk kedalam semadi yang sebenarnya dalam 4 tingkatan yaitu: mengerti lahir dan batinnya, mendapatkan damai batiniahnya, menghilangkan kegirangannya sehingga menjadi orang yang tenang, sampai akhirnya sukha dan dukha lenyap dari semuanya, dan rasa hatinya disudikan. Dengan demikianlah orang sampai pada kelepasan dari penderitaan.
Secara umum sama dengan aliran agama Buddha lainnya, Theravada mengajarkan mengenai pembebasan akan dukkha (penderitaan) yang ditempuh dengan menjalankan
sila (kemoralan),
samadhi (konsentrasi) dan
panna (kebijaksanaan).
Agama Buddha Theravada hanya mengakui
Buddha Gotama sebagai Buddha sejarah yang hidup pada masa sekarang. Meskipun demikian Theravada mengakui pernah ada dan akan muncul Buddha-Buddha lainnya.
Dalam Theravada terdapat 2 jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai
Pencerahan Sempurna yaitu
Jalan Arahat (Arahatship) dan
Jalan Kebuddhaan (Buddhahood).
Hari Raya
Terdapat empat hari raya besar dalam Agama Buddha. Namun satu-satunya yang dikenal luas masyarakat adalah Hari Raya Trisuci
Waisak, sekaligus satu-satunya hari raya umat Buddha yang dijadikan hari libur nasional Indonesia setiap tahunnya.
Waisak
Penganut Buddha merayakan
Hari Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa. Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali "Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan "Waishakha" dari bahasa Sanskerta
Kathina
Hari raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha.
Asadha
Kebaktian untuk memperingati Hari besar Asadha disebut Asadha Puja / Asalha Puja. Hari raya Asadha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna memperingati peristiwa
dimana Buddha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji, dan sesudah mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha Bhikkhu(Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).
Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Buddha sebagai guru dan teladannya. Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhamma mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati.
Khotbah pertama yang disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut, Buddha mengajarkan mengenai
Empat Kebenaran Mulia( Cattari Ariya Saccani ) yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.
Magha Puja
Hari Besar Magha Puja memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti Agama Buddha dan Etika Pokok para Bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250 Arahat yang kesemuanya arahat tersebut ditasbihkan sendiri oleh Sang Buddha (Ehi Bhikkhu), yang kehadirannya itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian satu dengan yang lain terlebih dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara Veluvana, Rajagaha. Tempat ibadah agama Buddha disebut
Vihara.